Kamis, 12 April 2012

Kuota Perempuan

Adalah penetapan jumlah atau persentase tertentu dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite atau suatu pemerintahan. Ide dasar dari sistim kuota adalah untuk memastikan agar perempuan masuk dan terlibat dalam posisi politik dan sekaligus juga untuk menjamin agar keberadaan perempuan dalam politik tidak hanya sekedar simbol.

Penetapan kuota perempuan dalam dunia politik terutama pada negara-negara dimana representasi perempuan sangat terbatas dalam dunia politik penting untuk diatur dalam undang-undang. 

Setidaknya ada tiga model sistim kuota perempuan dalam politik, yakni
  1. Pencadangan Kursi (Reserved Seats) secara konstitusional dan/atau legislatif. Diberlakukan di beberapa negara. Misalnya:
    • Tanzania: menerapkan 20 persen kursi di tingkat nasional, dan 25 persen untuk pemerintahan local secara khusus diperuntukan bagi permpuan.
    • India: menetapan 33 persen jabatan dalam pemerintahan local dipastikan akan diperuntukkan untuk perempuan.
     
  2. Kuota untuk Kandidat Resmi (Legal Candidate Quotas) secara konstitusional dan/atau legislatif.Diberlakukan di beberapa negara. Misalnya:
    • Prancis: sejak 1999 Amandemen KOnstitusi memberlakukan persyaratan bagi parpol untuk mencantumkan 50 persen nama perempuan dalam daftar calon legislative yang diajukan dalam pemilu.
    • Afrika Selatan: UU tentang Struktur Pemerintahan Kota (The Municipal Structures Act) menyatakan bahwa parpol harus mencari dan memastikan 50 persen perempuan akan terdaftar dalam pemilihan di tingkat lokal.
  3. Kuota untuk Partai Politik (Political Party Quotas) yang bersifat sukarela. Negara-negara yang menerapkan model ini antara lain:
    • Swedia, pada tahun 1994 Partai Sosial Demokrat menerapkan system yang disebut the zipper of zebra” atau strip kuda zebra yang menempatkan calon laki-laki dan perempuan secara berselang-seling. Jadi dalam daftar calon, jika laki-laki ditempatkan pada nomor urut pertama maka perempuan ada di nomor urut berikutnya, dst.
    • Norwegia dan Denmark. Pada tahun 1983 Partai Buruh di Norwegia menerapkan kuota sebesar 40persen bagi calon legislative perempuan. Di Denmark oleh Partai Demokrat Sosial menetapkan kuota 40persen untuk pemelihan local dan regional.
    • Afrika Selatan, pada tahun 1994 memberlakukan kuota 33.3 persen oleh Konggres Nasional Afrika (African National Conggress)
    • Mozambik, pada tahun 1999, Partai Frelimo menerapkan kuota 30 persen dalam daftar caleg.
    • Inggris, tahun 1993 Partain Buruh menempatkan daftar calon perempuan pada posisi “jadi” (winneable) untuk memastikan semakin banyak caleg perempuan yang terpilih pada tahun 1997.
Inilah tiga model kuota yang dipergumakan sekarang ini. Model pertama (Reserved Seats) mengatur jumlah perempuan yang di pilih, sementara model dua dan tiga mengatur minimum yang diperuntukkan untuk perempuan dalam daftar kandidat, baik yang diatur dalam peraturan resmi (model 2) atau penetapan tertulis dalam anggaran dasar setiap partai politik (model 3). Penting juga diperhatikan, apakah dalam urutan peringkat kandidat juga masuk dalam aturan karena ini penting untuk menjamin agar kandidat perempuan tidak hanya sekdedar ditaruh pada peringkat paling bawah dari daftar. Aturan juga perlu mengatur sanksi bagi pelanggaran sistim ini.

Di beberapa negara, kuota diberlakukan kepada kelompok inoritas berdasarkan regional, etnik, bahasa atau agama. Hampir semua sistim politik memberlakukan semacam kuota geografis untuk menjamin perwakilan minimum atas wilayah, pulau dst yang padat populasinya.

Kuota untuk perempuan mensyaratkan perempuan memperoleh jumlah atau persentase tertentu sebagai anggota dalam suatu badan, apakah itu dalam daftar kandidat, dalam badan parlemen, dalam komisi maupun dalam pemerintahan. Sistim quota menempatkan tanggungjawab perekrutan bukan pada perempuan tetapi pada mereka yang mengontrol proses rekrutmen tersebut. Pada jaman sekarang ini model 1 (reserved seats) untuk satu atau beberapa kursi bagi perempuan sudah dianggap lagi tidak cukup dan representative. Sekarang ini, sistim kuota dimaksudkan untuk mejamin bahwa perempuan mewakili minoritas yang besar yaitu 20, 30, atau 40 persen atau bahkan untuk menjamin gender balance (keseimbangan gender)  untuk 50-50 persen. Di beberapa negara, sistim kuota hanya diberlakukan secara temporer, artinya, sampai hambatan-hambatan bagi perempuan untuk terlibat dalam politik teratasi, tetapi banyak negara yang memberlakukan sistim kuota tidak memberikan batasan waktu bagi penerapan sistim kuotanya.

Penerapan angka 30 persen dalam kuota dinilai sebagai “angka kritis” (critical number) yang harus dicapai untuk memungkinkan terjadinya perubahan. Prosentasi ini mengimplikasikan jumlah kritis yang akan memberikan dampak pada kualitas pengambilan keputusan yang diambil oleh lembaga-lembaga publik atau lembaga-lembaga pengambil kebijakan yang dampaknya akan mengenai baik kelompok laki-laki maupun perempuan. Demikian juga, angka ini merupakan angka kritis untuk mengindari dominasi dari kelompok mayoritas (jenis kelamin, etnis, kelas, dst) dalam permususan kebijakan public. Angka ini juga mengimplikasikan keterwakilan laki-laki maupun perempuan tidak boleh lebih ari 70 persen.

Kenapa sistim kuota ini penting?  Sistim ini dipakai untuk mengatasi persoalan ketidakterwakilan perempuan – hal ini semakin menjadi penting karena jumlah perempuan yang mencapai 50 percent dari populasi di hampir setiap negara.

Para pendukung sistim kuota sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakterwakilan perempuan dalam politik adalah sbb:
  • Kuota dianggap sebagai kompensasi terhadap hambatan nyata dalam partisipasi perempuan dalam politik;
  • Kuota berarti adanya sejumlah perempuan yang duduk bersama-sama dalam suatu komisi atau majelis, prinsip ini penting ditekankan sehingga mengurangi tekanan yang dirasakan oleh perempuan yang keberadaannya dudah dialokasikan.
  • Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak keterwakilan yang setara.
  • Pengalaman perempuan berbeda dengan laki-laki.
  • Kualitas perempuan sama dengan laki-laki tetapi kualitas tersebut seringkali diangggap lebih rendah dan dikecilkan dalam  sistim politik yang didominasi oleh laki-laki.
  • Partai politiklah yang mengontrol pencalonan, bukan pemilih yang menentukan. (Yayasan Jurnal Perempuan, Model Perempuan untuk Politik: Sebuah Panduan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik, 2006:11-12).
Di Indonesia, pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundangan-undangan telah mengatur kuota 30 persen perempuan untuk partai politik dalam menetapkan calon legislatifnya. Dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPR Daerah (pemilu legislatif) dan UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengamanatkan kuota 30 persen bagi perempuan kepada partai politik terutama dalam badan legislatif.   Pasal-pasal yang mengamanatkan kuota antara lain sbb:
  • UU No. 10 tahun 2008, Pasal 8 butir d menyebutkan keterwakilan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan bagi parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu;
  • UU No. 2 tahun 2008, Pasal 66 ayat 2 menyebutkan KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional.
  • UU No. 2 tahun 2008, Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan.
Pilpres 2009: Perempuan Jakarta (AP Photo/David Longstreath)
 
Harapan untuk meraih kuota 30 persen perempuan sebagaimana yang menjadi tujuan perjuangan keterwakilan perempuan masih belum kesampaian. Pada pemilu tahun 2009, jumlah perolehan kursi perempuan di DPR adalah sebesar 18 persen (103 dari 560), DPRD provinsi sebesar 16 persen (321 dari 2005 kursi), dan DPRD Kabupaten/Kota mencapai 12 persen (1.857 dari 15.758 kursi ). Sebanyak 22 daerah pemilihan (Dapil) DPR RI memiliki persentase keterwakilan perempuan sebesar 30 persen bahkan lebih. Misalnya di Dapil Maluku Utara keterwakilan Perempuan mencapai 100 persen. Sementara di 27 daerah pemilihan sama sekali tidak memiliki kursi perempuan yaitu seperti di Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Barat, Bangka Belitung, NTB, Sulawesi Barat dan beberapa dapil di di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Sumber:   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar