Senin, 16 Agustus 2010

Relasi Gender

Relasi Gender (Gender Relation) adalah relasi kuasa yang hirarkis antara antara laki-laki dan perempuan  dan merupakan relasi kuasa yang cenderung merugikan perempuan (Reeves and Baden, 2000). Relasi gender terjadi secara simultan yang ditandai dengan kerjasama, ketertautan, saling mendukung, dan konflik, perpisahan, dan persaingan yang terjadi karena perbedaan dan ketidaksetaraan. Relasi gender berkaitan dengan bagaimana kuasa (power) didistribusikan diantara kedua jenis kelamin tersebut. 



Relasi gender yang hirarkis seringkali dianggap sebagai relasi yang ‘normal’, namun relasi tersebut dibentuk secara sosial dan budaya dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Relasi gender dapat dikategorikan sebagai praktek gender seperti dalam pembagian kerja dan sumberdaya, dan ideology gender seperti pandangan tentang perilaku mana yang pantas bagi laki-laki dan perempuan. Analisis yang fokusnya pada ‘relasi gender’ berbeda penekanannya dengan mereka yang fokusnya pada ‘peran gender’ sebagai titik tolak. Kelompok relasi gender memberi penekanan kuat pada keterhubungan hidup laki-laki dan perempuan dan ketidakseimbangan kuasa yang melekat pada relasi laki-laki-perempuan. Mereka juga menekankan interaksi relasi gender dengan relasi social yang hirarkis lainnya seperti kelas, kasta, etnisitas dan ras. Pertanyaannya adalah apakah relasi gender dapat mengentaskan atau memperburuk ketidaksetaraan social lainnya, tergantung pada konteks tersebut. Relasi gender membentuk dan terbentuk oleh sejumlah lembaga seperti lembaga keluarga, sistim hokum maupun pasar. Lembaga-lembaga tersebut adalah sumber yang dalam praktik sehari-harinya  memaksa ataupun mendefinisikan kembali peraturan-peraturan, norma-norma dan praktik-praktik yang menjadi panduan bagi lembaga-lembaga social. Oleh karena secara histories perempuan telah mengalami peminggiran dalam berbagai bentuk lembaga, partisipasinya dibatasi, seringkali mereka memiliki posisi tawar yang lemah untuk mengubah siapa yang menjalankan suatu lembaga. Sehingga, sebagai contoh, ketika mereka dianggap melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan peranan yang dianggap pantas, mereka rentan mengalami kekerasan baik secara fifik maupun seksual oleh partner lelaki mereka hampir tanpa ampun. Banyak budaya yang menganggap pemukulan dan perkosaan dalam perkawinan sebagai hal yang biasa dan bisa diterima dalam sistim hokum setempat. Atau, meskipun perkosaan dan kekerasan sudah diatur dalam sistim hokum, perempuan masih enggan untuk melaporkan karena sikap tak simpatik dari sistim hokum yang didominasi oleh kaum pria, atau oleh karena mereka kuatir akan ditinggalkan, diceraikan, dst.

Relasi gender yang tidak setara juga akan menghambat upaya pembangunan. Misalnya, kekakuan dalam pembagian kerja berdasarkan gender membatasi efektifnya mobilisasi pekerja perempuan untuk melakukan produksi ekspor.Upaya-upaya pengentasan kemiskinan menjadi terhambat ketika kaum pria menggunakan kuasa mereka untuk mengambil alih semua control atas sumberdaya yang ditujukan untuk perempuan. Untuk itu, strategi-strategi pembangunan membutuhkan dukungan analisis-analisis gender dan untuk mendukung upaya perempuan sendiri untuk mengubah norma dan praktik yang memperkuat relasi-relasi gender yang hirarkis.

Reeves, H.  and Baden, S. 2000, Gender and Development: Concepts and Definitions, Prepared for the Department for International Development (DFID) for its gender mainstreaming intranet resource diakses dari http://www.bridge.ids.ac.uk/reports/re55.pdf




Tidak ada komentar:

Posting Komentar