Senin, 16 Agustus 2010

Hak Asasi Perempuan

Pengakuan bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia dan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan secara khusus oleh karena gender mereka. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM-PBB (1948) menegaskan pemikiran tentang universalitas hak tetapi gagal dalam memperhitungkan kebutuhan perempuan dan kepentingan sebagai perempuan.  DUHAM hanya terpusat pada hak-hak politik dan sipil formal, karena itu hanya mempertimbangkan hak-hak yang relevan untuk ruang ‘publik’ daripada ruang ‘privat’. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap integritas tubuh perempuan yang terjadi pada ruang privat tidal menjadi bagian dari wacana hak asasi manusia.

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Dikskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW yang dikeluarkan tahun 1979 melakukan sebuah langkah maju yang penting yaitu larangan secara eksplisit atas diskriminasi terhadap perempuan. Dalam persiapannya untuk Konperensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina (1993), kelompok perempuan melakukan kampanye dengan slogan “Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia!” sebagai tanda eksistensi dari hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang universal. Para peserta dalam Konperensi Perempuan Sedunia di Beijing (1995) tetap
meneruskan seruan ini, dengan mencoba untuk memperluas konsep dari hak yang mencakup hak sosial, ekonomi dan budaya, serta hak reproduksi dan seksual dimasukkan dalam agenda konperensi kependudukan di Kairo pada tahun 1994.
Kekerasan berbasis adalah persoalan yang mendapat perhatian dalah upaya-upaya advokasi hak asasi perempuan. Kelompok-kelompok perempuan melakukan kampanye untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari hak asasi perempuan, misalnya hak perempuan untuk bebas dari perkosaan, dari serangan seksual sebagai pengungsi dan perempuan yang terpisah dari kampung halamannya, dari pelecehan dalam tahanan, secara khusus kekerasan dalam rumah tangga. Konperensi Hak asasi manusia di Wina tahun 1993 merupakan suatu tonggak penting yang menandai pengakuan internasional pertama atas kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Sekarang sudah tersedia sebuah Laporan Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap perempuan dengan referensi khusus untuk pengumpulan data dan pelaporan ke PBB.
Sejalan dengan adanya kemajuan atas pengakuan hak asasi perempuan dalam instrumen HAM, ini tidak sejalan dengan kemajuan dalam pelaksananaan an penegakan hak-hak tersebut oleh badan-badan negara. Banyak negara gagal untuk meratifikasi CEDAW, dan beberapa yang telah meratifikasinya juga gagal untuk mempertahankannya. Meskipun ketika hukum internasional dan nasional mengakui hak asasi perempuan, upaya tersebut terhambat oleh hukum adat yang patriarkis dan praktik-praktik sosial. Lebih daripada itu, HAM memperjuangkan, termasuk mempromosikan hak perempuan, menghadapi tantangan dari mereka yang menganggap wacana HAM sebagai pembebanan barat dan penjajah pada budaya lain. Memobilisasi perempuan untuk mengklaim hak mereka adalah hal yang penting dalam rangka mendesakkan reformasi dan untuk penimplementasian dan penegagakan HAM dan instrumen-instrumen hukum nasional. Untuk itu diperlukan strategi pengembangan kapasitas dalam hal ini melekhuruf, pengetahuan hukum dan partisipasi politik. Pelatihan kesadaran gender bagi para hakim dan polisi,  untuk selanjutnyamemperkuat partisipasi perempuan dalam bidang-bidang ini masih tetap penting dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar