Senin, 16 Agustus 2010

Kekerasan Gender

Kekerasan gender (gender violence) adalah setiap tindakan ataupun ancaman yang dilakukan oleh laki-laki atau institusi yang didominasi oleh laki-laki yang kerugian/kesakitan secara fisik, seksual dan psikologis pada perempuan oleh karena gender mereka. Kekerasan gender terjadi baik ruang pribadii/privat maupun di ruang publik. Kekerasan gender terjadi hampir terjadi di semua masyarakat, lintas semua kelas sosial dengan resiko yang diderita perempuan yang dilakukan oleh laki-laki yang mereka kenal. Angka kekerasan secara resmi masih sangat jarang dan demikian jarang dilaporkan, khususnya ketika kekerasan dilakukan oleh anggota keluarga. Kekerasan terhadap perempuan, khususnya perkosaan yang dilakukan secara sistematis, seringkali menjadi senjata dalam perang melawan kelompok-kelompok etnis tertentu atau populasi secara umum.
Masih belum ada definisi khusus tentang kekerasan berbasis gender yang diterima secara internasional dan masih terdapat perdebatan tentang cakupan yang masuk dalam kategori kekerasan gender. 
Umumnya, tindakan atau ancaman yang masuk dalam definisi ini adalah perkosaan, pelecehan seksual, pemukulan istri, kekerasan seksual bagi perempuan/anak perempuan kekerasan berkaitan dengan mas kawin, dan kekerasan bukan pasangan suami-istri dalam rumah tangga. Definisi lain diperluas mencakup perkosaan dalam perkawinan, tindakan seperti sunat perempuan, pembunuhan anak bayi dan aborsi berdasarkan seleksi jenis kelamin. Selanjutnya, definisi tertentu memasukkan ‘eksploitasi seksual’ seperti pelacuran paksa, perdagangan perempuan dan anak perempuan, dan pornografi.
Sekarang ini telah diakui dalam hukum internasional bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah hak asasi manusia dengan implikasi utama pada kesehatan dan ekonomi. Perkosaan terhadap perempuan dalam perang telah diakui dan secara terang-terangan menentang sejak 1949 pada Artikel 47 Konvensi Ke Empat Genewa Terkait Dengan Perlakuan Terhadap Orang Sipil pada masa Perang.  PBB juga telah menunjuk Pelapor Khusus (Special Rapporteur) untuk kekerasan terhadap perempuan. Namun, legislasi sendiri tidak cukup untuk mengatasi persoalan ini. Pencegahan dan menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan terhambat oleh perilaku yang telah terpelihara permanen yang merendahkan martabat perempuan dan terhambat oleh resistansi institusional, termasuk dari sistim peradilan dan kepolisian, untuk mengakui area dari persoalan. Terdapat keengganan untuk mencampuri persoalan “pribadi” di ruang lingkup domestik. Meskipun sejumlah negara telah membuatkan peraturanya, implementasi dan penegakan hukumnya masih lemah. Upaya-upaya tambahan untuk mendukung masih perlu dibutuhkan. Reformasi legislatif, pelatihan kepada polisi dan pengacara, penyediaan rumah aman, dan pengembangan kapasitas bagi perempuan untuk menghapuskan kekerasan dan memperjuangkan hak mereka masih tetap dibutuhkan.
Kebijakan pembangunan mesti memahami sekaligus hambatan – hambatan dimana terjadi kekerasan gender dalam kerangka pembangunan yang efektif dan dampak-dampaknya yang melemahkan hidup perempuan. Keprihatinan dari kebijakan seharusnya tidak hanya berfokus kepada program-program yang semata-mata ditargetkan kepada kekerasan terhadap perempuan, tetapi kekerasan sebagai sebuah aspek dari program lain misalnya program usaha kecil. Intervensi pembangunan pada dirinya sendiri bisa membuat perempuan rentan terhadap kekerasan jika laki-laki merasa terancam oleh upaya-upaya peningkatan status perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar